Komisi II DPR Soroti Putusan MK soal Pemilu, Singgung Bikin Norma Sendiri

5 months ago 17
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online

Jakarta -

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Rifqinizamy menilai seharusnya MK tidak membuat norma baru di luar DPR dan pemerintah.

Mulanya, Rifqinizamy menjelaskan MK bersifat negative legislature atau membatalkan norma yang ada dalam UU jika bertentangan dengan UUD 1945. Namun, kata dia, saat ini MK telah bertindak sebagai positive legislature atau pembentuk norma baru.

"Kalau disebutkan inkonstitusional, maka serahkan kepada presiden atau pemerintah dan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang, yang juga diberikan kewenangan Undang-Undang Dasar untuk kemudian menyempurnakan norma yang inkonstitusional itu," kata Rifqinizamy di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional, tapi dia bikin norma sendiri," sambungnya.

Menurutnya, jika hal itu terjadi secara terus-menerus, tidak akan ada demokrasi konstitusional. Padahal, menurut dia, seharusnya antarlembaga dapat saling menghargai.

"Nanti kami revisi Undang-Undang Pemilu, belum dilaksanakan, di-judicial review, diterbitkan norma baru. Kemudian kita hadirkan lagi. Nah kalau seperti ini terus, menurut pandangan saya kita tidak bisa saling menghargai antar-lembaga negara," ujarnya.

"Karena itu, kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Karena bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi kita semua untuk kemudian melihat lebih jauh, bagaimana proses pembentukan hukum nasional kita ke depan," sambungnya.

Lebih lanjut, Rifqinizamy mengatakan pihaknya telah menggelar rapat bersama pimpinan DPR, pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu mengenai putusan MK yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Rapat itu digelar pagi tadi.

"Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR, Bapak Prof Dr Sufmi Dasco Ahmad dan pimpinan yang lain, membicarakan terkait dengan respons DPR soal putusan Mahkamah Konstitusi terbaru, yang memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model pemilu," ujarnya.

Meski begitu, Rifqinizamy mengatakan pihaknya belum dapat memberikan sikap resmi mengenai putusan tersebut. Sebab, kata dia, perlu kajian yang mendalam terkait putusan MK itu.

Terlebih, dia mengatakan putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai kontradiktif dengan putusan MK Nomor 55 pada 2019. Di mana, saat itu MK dalam pertimbangannya memberikan panduan kepada DPR dan pemerintah untuk memilih model keserentakan pemilu.

"Yang 1 dari 6 model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada Pemilu 2024 yang lalu," tuturnya.

"Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba dalam tanda kutip bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi UU Pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini. Nah karena itu sekali lagi izinkan kami melakukan pendalaman dan penelaahan," imbuh dia.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

Simak juga Video 'MK Pisah Pemilu Nasional-Daerah, Pengamat Soroti Bongkar Pasang Aturan':

(maa/gbr)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article