Diskusi Lintas Kementerian, KPK Beri Catatan Masalah Tata Kelola Pertambangan

4 months ago 9
situs winjudi online winjudi winjudi slot online winjudi online Daftar slot gacor Daftar situs slot gacor Daftar link slot gacor Daftar demo slot gacor Daftar rtp slot gacor Daftar slot gacor online terbaru Daftar situs slot gacor online terbaru Daftar link slot gacor online terbaru Daftar demo slot gacor online terbaru Daftar rtp slot gacor online terbaru slot gacor situs slot gacor link slot gacor demo slot gacor rtp slot gacor informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online hari ini berita online hari ini kabar online hari ini liputan online hari ini kutipan online hari ini informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat situs winjudi online
Jakarta -

KPK melakukan diskusi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Kehutanan serta Kementerian Keuangan. Diskusi membahas hasil kajian yang telah dilakukan KPK terkait tata kelola pertambangan.

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menjelaskan kajian mengenai tata kelola pertambangan sebetulnya sudah dilakukan KPK sejak 2009. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, KPK menemukan masih banyak permasalahan terkait perizinan dan pengelolaan.

"Banyak hal yang sudah dikaji, antaranya masalah perizinan, kemudian pengelolaan, antaranya seperti informasi dan basis data, kemudian tumpang tindih perizinan, kemudian kegiatan penambangan yang tanpa izin, tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan)," ujar Setyo dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setyo menyebut salah satu yang ditemukan dari hasil kajian KPK yakni terkait masalah izin pertambangan yang sudah tidak aktif. KPK memperoleh data, ada sebanyak 4.755 IUP yang sudah tidak aktif dari total 9.007 IUP.

Kemudian ditemukan juga pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan, namun tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Setyo mengatakan meskipun memiliki IUP, pihak pengelola tambang semestinya juga memiliki IPPKH jika lokasi pertambangannya berada di wilayah hutan.

"Nah ini ada IUP, yang kemudian dia memiliki PPKH, yaitu pinjem pakai kawasan hujan. Tapi ada yang tidak punya (IPPKH)," ujarnya.

Lebih lanjut Setyo menjelaskan KPK turut mendapati pemilik IUP yang menggunakan kawasan hutan namun tidak memiliki IPPKH tetap membayar jaminan reklamasi (jamrek) tambang. Setyo menyebut semestinya jamrek ini dibayarkan oleh pemilik IUP yang juga memperoleh IPPKH.

"Harusnya mereka ini adalah yang kewajiban untuk menyetorkan jaminan reklamasi itu adalah IUP yang sudah memiliki PPKH. Tapi ternyata, kedeputian menemukan meskipun dia tidak memiliki PPKH, tapi dia setor juga gitu, dan diterima," ungkap Setyo.

Setyo mengatakan dengan membayar jamrek, pelaku usaha pertambangan pun merasa kegiatan pertambangannya legal. Padahal, KPK menilai secara aturan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan.

"Nah ini menurut kami juga tidak tepat, harusnya itu sudah ditolak. Pada saat itu harusnya sistem itu membaca, karena PPKH-nya tidak ada, harusnya ditolak. Nah itu menjadi salah satu temuan yang kami lakukan pembahasan, dan kemudian nanti akan ada solusi," tuturnya.

Selain perizinan dan pengelolaan, hasil kajian KPK juga menemukan adanya ketidaksinkronan dan disparitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Termasuk juga rendahnya pemenuhan kewajiban yang harusnya dipenuhi oleh pelaku usaha pertambangan, baik secara keuangan maupun secara administrasi.

Dari kajian tersebut, KPK pun memberikan informasi ini kepada pihak kementerian terkait untuk dilakukan tinda lanjut. Sebabnya, KPK mengajak diskusi kementerian terkait untuk menemukan dan menentukan rencana aksi yang akan dilakukan.

"Tentu ini menjadi kajian atau temuan, kemudian ditindak lanjut dikajian dan nantinya akan ada ren-aksi. Nah, ren-aksi inilah nanti akan disampaikan oleh beliau-beliaunya," jelas Setyo.

Setyo juga menyampaikan bahwa KPK selama dalam pengkajian pun sudah melakukan langkah-langkah sebagai upaya untuk memperbaiki tata kelola pertambangan agar tidak menimbulkan kerugian negara. Salah satunya yakni dengan pengurangan terhadap IUP.

"Masalah pengurangan perizinan dari yang sebelumnya 4.877, kemudian turun, sampai dengan beberapa tahun dan sampai dengan sekarang sudah banyak terjadi penurunan yang cukup signifikan," terang Setyo.

Tak hanya itu, menurutnya kementerian terkait selama ini sudah berupaya maksimal untuk melakukan perbaikan tata kelola dengan metode-metode digitalisasi. Berbagai platform atau aplikasi untuk perbaikan sistem tata kelola pertambangan pun dipergunakan dengan maksimal.

"Ini juga merupakan sebuah keberhasilan yang sudah dilakukan oleh KPK bersama dengan stakeholder yang lain,"

Setyo menilai diskusi ini akan memperkuat upaya perbaikan tata kelola pertambangan. Harapannya, melalui pertemuan ini akan menghilangkan ego sektoral sehingga memiliki keserasian untuk perbaikan tata kelola pertambangan.

"Dengan kegiatan rapat koordinasi ini, ada integrasi yang akan lebih bagus. Tidak ada lagi yang bersifat sektoral, semuanya nanti bisa dilakukan secara sinergi antara kementerian dan tentunya melipatkan Komisi Pemberantasan Korupsi," imbuhnya.

(rfs/rfs)


Read Entire Article